Cerpen “Kecerdasan VS Kebodohan”

Posted: Februari 9, 2009 in Belajar bahasa

Kecerdasan VS Kebodohan
(oleh: Wawan Sumarwan)

Pagi ini langit masih menangis deras, sama seperti beberapa hari yang lalu. Motor sudah dicuci bersih sedari tadi subuh. Selesai solat, langsung aku mengeluarkan motor dan memandikannya, walau aku sendiri belum mandi. Dengan panuh harapan selesai aku mandi dan memakai baju lalu siap berangkat, langit akan melupakan kesedihannya mengantarkanku dengan senyum manisnya. Namun ternyata dia sedang tidak bersetuju denganku.

Sampai empat balik mungkin aku naik ke kamarku. Mengambil tas yang sudah disiapkan dari semalam, mengambil kaus kaki yang tertinggal, mengambil dompet yang tertinggal, dan mengambil handphon yang ternyata berada di bawah bantal. Malam tadi sambil menyiapkan beberapa buku dan memasukkannya ke tas yang akan dibawa kuliah besok, aku mengobrol dengan seseorang yang hampir setiap malam menghiburku, berbagi cerita, merencanakan dunia di masa depan, mengobrol keliling dunia hingga ngawur kesana-kemari, dan ketawa-ketawa atau saling mengeluh sampai terisak menangis sedih, lalu obrolan akan diakhiri dengan ucapan salam selamat malam atau bahkan tanpa sadar telepon akan mati sendiri karena kita ketiduran. Dan besoknya akan kelabakan mencari handphon. Hari ini juga aku tidak melihat handphon, sampai empat balik ke kamar baru menemukannya setelah ku singkab bantal. Ternyata tidak begitu dengan hujan yang masih saja mengguyur kotanya ini.

Aku harus masuk kuliah hari ini, aku harus masuk kuliah, kemarinkan aku gak masuk, begitu ucap hatiku berkali-kali. Lama sudah aku termangu di jendela depan menatap motor cantik yang merengek minta masuk kembali ke rumah karena takut kecantikannya hilang dan menggigil kedinginan. Nampaknya langit dan motor telah bersekongkol menjegalku untuk menumpas pasukan kebodohanku. Aku harus berangkat, bisikku lagi. Tidak terpikir olehku untuk memakai jas hujan karena hujan yang seperti ini akan mudah mengguyur tubuhku sampai kuyup menembus jas hujan murahan yang aku punya.

Aku harus berangkat pagi, karena jarak dari rumah ke kampus lumayan jauh. Jarak Bogor – Jakarta dengan naik motor dalam kondisi normal, dua jam dua puluh menit, dan naik kendaraan umum bisa tiga jam lebih. Tapi saat ini jam tangan digitalku bertuliskan 07.10, langit masih menangisi nasibku. Udara dingin bertambah kuat di dorong angin yang menggila sampai beratus-ratus kali menabrakku tiada ampun yang masih berdiri di depan pintu dekat jendela yang kacanya sudah tertutup butiran-butiran air tempayan yang ingin menghangatkan tubuhnya di dalam rumah. Aku harus berangkat, aku tidak boleh bolos, bolos adalah bodoh, tapi hujan, terus deras kalimat-kalimat itu mengalir di hatiku. Sekali lagi aku masuk ke dalam, memegang jas hujan, membukanya, dan meletakkannya lagi, kemudian membuka pintu dan berdiri lagi di situ. sempat terpikir juga naik kendaraan umum, tapi aku tak mau, karena hari sudah terlalu siang.

Ingin rasanya menangis meratapi nasibku ini, tapi aku takut menambah keras langit menangis. Ingin rasanya kembali membuka baju ini dan menggantinya kembali dengan piyama, tapi aku tak mau bodoh. Sisiran rambutku kehilangan arahnya, garis-garisnya sudah hilang, rambutku kembali sama seperti sewaktu bangun tidur tadi pagi, karena entah berapa kali aku menggaruk kepala tak karuan. Apakah aku harus mengalah pada alam menerimaku dengan apa adanya, dengan segala kebodohanku. Lama sekali aku termenung menatap langit yang tetap menangis, menatap butiran-butiran air hujan yang berlari-lari kegirangan, menatap si cantik yang murung, menatap kaca yang hilang kilaunya, menatap jas hujan yang tergeletak di meja, menatap kopi susu yang berubah jadi es batu, dan menatap kedalam kebodohanku.

Aku tak tahan lagi dengan ini semua, tak tahan lagi dengan hujan, tak tahan lagi dengan rengekan si manis, tak tahan dengan teriakan-teriakan diriku sendiri, teriakan kebodohan, teriakan kecerdasan. Akhirnya aku berlari tak terkendali rencana, berlari menerobos tusukan-tusukan busur panah yang menghujam lalu menghilang setelah menyentuh sekujur tubuh, mengacuhkan teriakan langit yang mengaum mengerikan menakutiku, menyingkap setiap ilalang tajam yang menghadang. Aku terus menerjang-meradang semua musuh-musuh kebodohan, hingga mereka tertusuk tikamanku, darah mereka melumuri tubuhku, tetesannya menambah semangat tempurku hingga aku terhenti di pojok bangku paling belakang mobil angkutan yang akan mengantarkanku ke gerbang kecerdasan suatu saat nanti.

Ini nyata kawan, kebodohan harus dilawan. Kecerdasan adalah lawan dari kebodohan. Sedangkan kebodohan tidak akan pernah dapat terkalahkan oleh kecerdasan, tapi hanya akan mengurangi kebodohan. Karena manusia adalah makhluk cerdas yang bodoh atau makhluk bodoh yang cerdas. Manusia, kecerdasannya tidak akan melebihi kecerdasan Penciptanya, rencananya tidak akan dapat merubah rencana Penciptanya. Kawan, apakah kita masih bodoh atau sudah cerdas?

Komentar
  1. banny berkata:

    terus berkarya boss

  2. Danik berkata:

    Bgus bget, calon pnulis masa depan

  3. Efi berkata:

    Terus berkarya! Aq tunggu yang berikutnya.

Tinggalkan komentar